Sebuah riset mendalam yang digagas oleh para ilmuwan dari Harvard University telah meneliti lebih dari 200 ribu individu dari 22 negara, menggali informasi tentang kesehatan, kebahagiaan, makna hidup, karakter, relasi sosial, stabilitas finansial, dan kesejahteraan spiritual.
Para peneliti, dengan cermat, kemudian menggunakan ketujuh variabel ini sebagai indikator utama untuk mengukur tingkat ‘kemakmuran’ dalam studi bertajuk Global Flourishing Study (Studi Kemakmuran Global). Hasilnya sungguh menarik: penduduk Indonesia dinobatkan sebagai yang paling ‘makmur’ atau sejahtera, diikuti oleh Israel, Filipina, dan Meksiko.
Sebaliknya, negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat hanya mampu menduduki peringkat ke-12 dalam daftar ini, sementara Inggris harus puas berada di posisi ke-20 dari 22 negara. Menurut interpretasi para peneliti, temuan ini menggarisbawahi kebenaran pepatah lama yang menyatakan bahwa materi bukanlah segalanya.
“Kemajuan adalah konsep multidimensional, dan setiap negara mengalami perkembangan dengan cara yang unik,” tulis tim peneliti dalam laporan studi mereka, seperti yang dilansir dari Daily Mail.
“Meskipun banyak negara maju menunjukkan tingkat keamanan finansial dan evaluasi kehidupan yang relatif lebih tinggi, mereka tampak kurang berkembang dalam aspek lain, seringkali melaporkan makna hidup, perilaku pro-sosial, dan kualitas hubungan yang lebih rendah,” jelas para peneliti.
Sejumlah studi sebelumnya telah berupaya mengidentifikasi negara-negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi di dunia, dan Finlandia seringkali menjadi yang teratas. Namun, hingga saat ini, penelitian yang secara khusus mengkaji bagaimana masyarakat secara keseluruhan berkembang masih terbilang langka.
Dalam studi mereka yang dipublikasikan di Nature Mental Health, tim yang diketuai oleh Tyler VanderWeele menjelaskan bahwa tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperluas pemahaman kita tentang distribusi dan faktor-faktor yang menentukan kemajuan di berbagai belahan dunia.
Tim peneliti melibatkan partisipasi 203 ribu orang dari 22 negara yang tersebar di enam benua berpenduduk. Menurut analisis para ahli, sampel ini mewakili sekitar 64% dari total populasi dunia.
Berdasarkan 7 Variabel. Para peserta mengisi survei yang berfokus pada tujuh variabel utama, serta data demografis seperti usia, jenis kelamin, status pernikahan dan pekerjaan, tingkat pendidikan, kondisi kesehatan, agama, dan riwayat pribadi.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama dengan skor mencapai 8,3. Menyusul kemudian Israel (7,87), Filipina (7,71), Meksiko (7,64), dan Polandia (7,55).
Meskipun Indonesia bukan termasuk negara terkaya, negara ini mendapatkan penilaian tinggi dalam hal kualitas hubungan sosial dan karakter pro-sosial yang mendorong terciptanya ikatan sosial dan komunitas yang kuat.
Di sisi lain, Jepang dinilai sebagai negara dengan tingkat perkembangan warga yang paling rendah, dengan skor hanya 5,89, diikuti oleh Turki (6,32), Inggris (6,79), India (6,87), dan Spanyol (6,9).
Jepang memang lebih kaya dan memiliki harapan hidup yang lebih tinggi, tetapi responden di negara tersebut cenderung memberikan jawaban ‘tidak’ untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ‘apakah mereka memiliki teman dekat’.
Brendan Case, direktur asosiasi untuk penelitian di Human Flourishing Program dan salah seorang penulis studi, menjelaskan bahwa mereka tidak berniat menghubungkan hasil penelitian ini secara langsung dengan kekayaan, harapan hidup yang lebih panjang, pertumbuhan ekonomi, atau bahkan kesehatan masyarakat.
“Namun, sangat menarik untuk merenungkan bahwa Studi Kemakmuran Global memunculkan sejumlah pertanyaan penting tentang potensi trade-off yang mungkin terlibat dalam proses tersebut,” ungkapnya.
Hasil penelitian juga mengungkap adanya korelasi antara usia dan tingkat perkembangan, dengan responden yang lebih tua cenderung memperoleh skor lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang lebih muda.
“Secara rata-rata, jika digabungkan di seluruh 22 negara, tingkat kemakmuran pada dasarnya tetap stabil seiring dengan bertambahnya usia hingga rentang 18-49 tahun, dan kemudian mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia setelahnya,” jelas para peneliti.
“Hal ini sangat kontras dengan penelitian sebelumnya yang sebagian besar berfokus pada kepuasan atau evaluasi hidup, yang menunjukkan pola berbentuk U yang lebih dramatis seiring dengan bertambahnya usia,” urai mereka.
Menurut pandangan para peneliti, temuan ini memunculkan pertanyaan penting mengenai kemajuan masyarakat di masa depan. “Apakah kita telah berinvestasi secara memadai di masa depan, mengingat adanya gradien usia makmur yang mencolok, di mana kelompok usia termuda seringkali berada dalam kondisi yang paling kurang menguntungkan?,” tanya mereka.
Catatan penting lainnya dari para peneliti adalah, mungkinkah kita melaksanakan pembangunan ekonomi dengan cara yang tidak mengorbankan makna dan tujuan hidup, serta kualitas hubungan dan karakter, mengingat banyak negara yang maju secara ekonomi justru tidak menunjukkan hasil yang baik pada ukuran-ukuran ini.
“Seiring dengan pembangunan ekonomi dan sekularisasi, apakah kita terkadang mengabaikan, atau bahkan menekan, jalur spiritual yang kuat untuk berkembang?,” kata para peneliti.
“Jika masyarakat pada akhirnya ingin berkembang secara optimal, pertanyaan-pertanyaan tentang usia, perkembangan, dan dinamika spiritual perlu dipertimbangkan secara serius,” sebut mereka.